-->

Thursday, February 9, 2017

Namaku Ave

Untuk hati yang sedang mencari kepingan...
Aku hanya bisa mendengus kesal mendengar permintaan mama.
Namaku Ave, 20 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara. Aku bukanlah anak dari kalangan orang kaya. Papa bekerja melanjutkan usaha mebel yang sebelumnya dijalankan eyang, sementara mama sebagai ibu rumah tangga.
“Kak Ave!” panggil mama tegas membuyarkan lamunan.
Ya, Tuhan, aku pulang ke Surabaya untuk berlibur dari aktivitas kuliah dan ingin istirahat, tetapi mama berkeras memintaku mengantar beliau ke rumah eyang. Aku pasti bersedia seandainya saja rumah eyang berada di kota yang sama, tetapi masalahnya rumah eyang berada di Malang. Satu hal yang pasti, di sana nanti akan ada acara keluarga yang membosankan. Aku malas jika harus mendengarkan keluarga lain yang memuji ketampananku. Gerrr, aku sudah bosan dibilang tampan.
“Ayolah, Ma! Kenapa nggak sama Papa aja?” tanyaku mencoba memberi solusi, karena setahuku mama selalu pergi dikawal oleh papa.
“Papamu ada janji sama customer dan nggak bisa ditinggal. Mama juga jarang-jarang kan minta tolong sama kamu, Kak?”
“Ave kan capek, Ma! Baru tadi siang sampai, masa iya harus ke Malang. Lagian, kenapa nggak bawa mobil sendiri aja?” tolakku dengan mencoba memberi solusi lainnya. Sejauh ini mama bisa membawa mobil sekadar ke supermarket, jika papa tidak ada rumah. Jadi, kurasa penawaranku sangat masuk akal.
Mama berdecak kesal, “Sejak kapan Papa memberi izin kalau Mama pergi mengemudi ke tujuan yang jauh?”
Ah iya, selama ini papa memang over protektif terhadap mama.
Baiklah, cari solusi lain.
“Ya udah, kalau begitu minta Ken aja, dia kan udah punya SIM!” ujarku lagi. Kurasa adikku Ken sudah mampu jika hanya mengantar mama sampai ke Malang.
“Adikmu itu kan lusa ujian. Dia harus belajar, Kak. Jadi, kamu serius tidak mau mengantar Mama? Masa iya, Mama harus meminta Papa yang bicara sama kamu?”
Aku sadar, kalimat mama yang terakhir bukanlah tawaran atau pun solusi, melainkan ancaman. Telingaku bisa berasap jika sampai papa turun tangan. Beliau pasti akan menceramahiku dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, saat aku mengatakan ya, barulah semua itu akan berakhir.
Aku menyerah dan mama yang menang kali ini.
“Ya udahlah, Ma! Daripada Ave harus mendengar ceramah Papa,” ujarku pada akhirnya, yang membuat mama tersenyum puas atas keputusanku.
***
_______
Kisah ini bagian dari ebook "Calon Imam: Kebetulan Itu Tidak Pernah Ada".



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner