-->

Thursday, January 12, 2017

Kancut yang Tertukar

Masa-masa pulang ke kampung halaman dari penatnya kehidupan anak kos adalah masa yang paling indah. Semua itu sama seperti saat tersesat di jalan, masuk ke rumah orang, eh, enggak taunya itu rumahnya Ryn Chibi, terus malah diajakin pacaran. Indah banget.
Bisa bebas dari segala jenis makanan tanpa gizi, dan keterbatasan minuman yang enggak ada rasanya selama di kos, adalah surga kedua bagi gue setelah kebahagiaan yang utama, gue bisa lihat keteknya Ryn Chibi secara live.
Menghabiskan waktu di rumah sendiri, selalu gue manfaatkan waktu sepenuhnya buat proses perbaikan gizi. Kalau biasanya selama di kos gue cuma bisa minum air takjin, di rumah gue bisa minum susu sapi secara berkala, bahkan sering gue minum langsung dari sapinya.
Sebagai mahasiswa yang enggak mau rugi, momen pulang ke kampung halaman juga selalu gue manfaatkan dengan sebaik mungkin. Contohnya, gue akan membawa seluruh cucian kotor yang gue punya tanpa menyisakan satu kancut pun. Walaupun tas gue baunya terasa memuakkan seperti pantat Badak dari Pakistan, tetapi gue tetap teguh pada pendirian. Membawa pulang seluruh cucian kotor adalah sebuah penghematan yang brilian. Gue enggak perlu laundry, gue juga enggak perlu nyuci dan kucek-kucek sendiri. Semua akan dikerjakan oleh mesin cuci di rumah. Tangan gue akan tetap lembut, selembut jubah sutera yang dipakai biksu Tong Sam Chong.
Sebenarnya, gue enggak perlu bawa pulang seluruh cucian gue ke rumah, karena ada laundry dekat kampus gue. Namun, dari hati yang terdalam, jujur gue memang agak-agak trauma dengan servis laundry yang ada di sekitar kampus. Memang sih, pakaian dengan aroma selaknat apa pun bisa berubah menjadi aroma wangi nan lembut beberapa hari kemudian. Namun, permasalahannya adalah apakah jumlah cucian kita yang masuk dan keluar selalu sama?
Belum tentu.
Inilah problem klasik yang sering dimiliki oleh beberapa perusahaan laundry di pinggiran kampus gue. Dengan begitu banyaknya orderan yang masuk, gue yakin operator laundrynya enggak bakal bisa ngafalin satu-per satu cucian pelanggannya. Jadi, kalau ada insiden cucian hilang atau cucian tertukar, Ini sudah jadi risiko pelanggannya. Pihak laundry lebih sering berkilah dari tuduhan pelanggannya.
Pernah, waktu awal gue jadi mahasiswa, saat gue masih belum terlalu mengalami pedihnya hidup menjadi mahasiswa. Gue masih senantiasa memercayakan cucian biadab gue pada laundry yang lokasinya enggak jauh dari kos-kosan gue. Tempatnya memang enggak gede-gede amat, tetapi cukup layak disebut tempat laundry karena ada tulisan “Menerima laundry kiloan”. Tempatnya juga bagus, ada tembok sama keramiknya, gue suka.
Ruangan yang kira-kira berukuran 3x3 meter itu cukup sederhana, hanya ada dua buah mesin cuci single, dan lemari pakaian tiga tingkat tanpa pintu, sementara di dekat pintu laundry ada meja kayu lengkap dengan beberapa nota dan bolpoin. Gue curiganya sih, itu meja kasir, iya, gue curiga banget.
Pertama kali datang ke tempat laundry itu, kejadiannya sore hari. Gue datang dengan menenteng sebuah bungkusan besar dalam plastik berwarna hitam, bagi orang awam yang enggak tahu ada tempat laundry di dekat situ. Pasti mereka menganggap gue mau buang anak tapir. Namun, untung saja enggak ada orang yang sampai meminta gue buat menunjukkan isinya. Kalau sampai beneran ada, mungkin mereka akan menyesal telah melihat isi bungkusan plastik hitam itu. Mereka akan sangat terpukul, enggak doyan makan, dan enggak doyan buang air besar. Itu pedih.
“Silakan, Mas, cuciannya ditimbang dulu di sini,” kata seorang cewek dengan rambut dikuncir.. Gue takjub banget, belum sempat gue bilang mau laundry, itu cewek sudah tau duluan tujuan gue mau ngapain. Keren!
“Oh iya, Mbak,” kata gue, sambil meletakkan plastik gue di dalam keranjang kiloan.
Lama cewek itu memerhatikan, sambil menggigit bibir bawahnya, cewek itu menulis sesuatu di sebuah kertas kecil yang ada di meja. Gue curiganya dia lagi nulis surat wasiat, takut keselamatannya terancam karena mau ngelaundry cucian gue. Ternyata gue salah, cewek itu lagi nulis nota buat cucian gue.
“Ini Mas, cuciannya 3,5 kilo ya, tiga hari lagi boleh diambil, terima kasih....” Cewek tadi tersenyum dengan penuh ketulusan, tetapi sayang mukanya enggak terlalu cantik. Kulitnya cokelat, tingginya juga enggak semampai.

***
Cerita ini bagian dari ebook "Lelaki Gagal Gaul".



 

Delivered by FeedBurner