-->

Thursday, February 9, 2017

Seharusnya aku yang menjadi mempelai wanita

Mataku menatap nanar kedua mempelai yang ada di depan penghulu, duduk dengan tegap, dia adalah Fadli, sahabatku. Seharusnya aku bahagia melihat sahabatku mengawali hidup baru, iya seharusnya begitu, tetapi faktanya saat ini hatiku sesak melihat prosesi itu. Bukankah seharusnya aku yang ada di sana--di sampingnya? Seharusnya aku yang menghabiskan masa tua bersamanya. Seharusnya aku yang menjadi mempelai wanita. Sedikit egois memang, tetapi faktanya aku lebih mengenal Fadli daripada wanita itu. Aku lebih mengenal Fadli luar dalam dibandingkan dengannya. Aku tahu rutinitas apa saja yang dia lakukan setiap hari. Aku tahu apa makanan favorit dan makanan yang dibencinya, bahkan aku juga tahu berat badannya. Aku tahu segala hal dalam diri Fadli, tetapi mengapa justru wanita yang baru satu bulan mengalihkan perhatian Fadli yang kini menjadi pendampingnya? Kenapa, Tuhan?
“SAH.”
Suara antusias dari para saksi dan tamu seperti suara bom yang mampu menulikan telinga. Jadi benar kisah kami akan berakhir mulai hari ini. Takdirlah yang menentukan jalan hidup manusia. Aku memang mengenal Fadli dari kecil, kami satu sekolah dan selalu pergi bersama. Cukup banyak yang mengatakan kami layaknya bunga dan kumbang. Cih, semua itu hanya kata orang. Takdir telah menunjukkan kuasanya, aku dan dia tidak ditakdirkan bersama.
***
“Mereka ngapain, Fa?”
“Kata Papa itu namanya menikah!”
“Menikah itu apa?”
“Kata Papa kalau orang gede menikah, nanti bisa hidup bersama.”
“Kalau begitu nanti Bila menikah sama Fa, ya?”
“Iya.”
Ingatan kebersamaan kami waktu kecil silih berganti bagai film usang yang terus diputar.


_______
Penggalan cerita di atas, diambil dari ebook "Bila".


NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner